Jemput Siswa LPMAK di Bandara Samrat

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Mengenal Asrama (SMA) Lokon Resort

Asrama ke 4 adalah asrama yang berada di Lokn Resort yang tidak menyatu dengan Kampus Losnito.

Mencicipi Daging Bakar Ala Papua

Daging bakar ini mirip Bakar Batu, tradisi Papua untuk sambut warga baru yang masuk dalam komunitas perantau asal Papua.

Jelajah Desa Taratara, Woloan, Kayawu

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Video Siswa Matrikulasi di Taratara

Pengenalan Wilayah, program rutin bagi siswa-siswi Matrikulasi dari LPMAK.Kalai ini desa Wailan, Kayawu, Tara-tara dan Woloan yang dikunjungi.

Minggu, 04 Agustus 2013

Tentang Suku Kamoro

 TOMOHON, Losnito - Suku Kamoro adalah kelompok adat yang mendiami sepanjang 300 km pesisir selatan Papua, di kawasan ujung timur Indonesia. Dari segi bahasa, mereka bersaudara dengan suku Asmat  yang tinggal di sebelah timur yang sangat terkenal karena kesenian mereka.

Jumlah penduduk Kamoro sekitar 18.000 jiwa  terbagi dalam kurang lebih 40 kampung. Sekitar 1.500 penduduk Kamoro tinggal di berbagai lokasi transmigrasi sekitar Kota Timika. Penduduk Kamoro memiliki satu bahasa bersama dan berbagi banyak ciri kebudayaan. Tanah Kamoro dimulai dari Teluk Etna di sebelah barat dan menyatu ke arah timur di kawasan Sempan, sebuah kelompok etnis yang masih bersaudara, dan yang juga turut berpartisipasi dalam acara tahunan Festival Kamoro. Tanah Sempan berbatasan dengan daerah Asmat. Ketiga kelompok etnis tersebut membentuk keluarga bahasa Kamoro-Asmat dan berbagi beberapa ciri kebudayaan seperti misalnya bitoro suku Kamoro dan bisj suku Asmat, keduanya merupakan ukiran-ukiran besar yang melambangkan para leluhur yang baru saja meninggal dunia.

Menuju arah barat tanah Kamoro, membentang rangkaian pegunungan Papua tengah mendekati daerah pesisir, dengan puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi dekat Laut Arafura. Kampung-kampung di lokasi ini adalah kampung pesisir. Deretan pohon sagu yang amat luas berawal di batas teratas daerah dampak arus pasang. Keadaan ini memungkinkan tersedianya makanan pokok bagi penduduk Kamoro di dekat kampung-kampung yang menghadap ke arah pedalaman. Bagi kampung pesisir, para penduduk menggunakan perahu-perahu lesung untuk menjangkau kawasan pohon sagu.

Kontak pertama antara penduduk Kamoro dan dunia luar kemungkinan terjadi dengan para pedagang dari Indonesia bagian barat yang mencari kulit kayu massoy (banyak digunakan untuk obat tradisional Jawa), bulu burung cenderawasih, getah damar untuk bahan penerangan dan mencari budak. Sebagai alat tukar, digunakan perkakas logam, gong dan kain-kain. Perubahan besar-besaran pada suku Kamoro terjadi pada tahun 1925 ketika sebuah pos pemerintah kolonial Belanda dan misi Katolik Roma didirikan di Kokonau. Maka segera terjadilah pengendalian kekuasaan dan penduduk Kamoro dipaksa/dibujuk untuk meninggalkan beberapa aspek kehidupan adat mereka misalnya upacara tindik hidung (tidak higienis), lalu mereka tinggal dalam kampung-kampung permanen dimana terdapat sekolah-sekolah dan rumah-rumah untuk satu kepala keluarga (lebih mudah dikendalikan), serta pemindahan kepercayaan dari animisme hingga memeluk agama Katolik Roma. Namun, menyusupnya dunia modern tersebut membawa pula segi-segi positif.

kamoro 2Tersembunyi oleh zona bakau yang terkaya dan berlimpah di dunia, masyarakat Kamoro yang sebelumnya menjalani kehidupan yang semi-nomadis (mengembara), memindahkan milik mereka yang tak seberapa antara hutan-hutan pohon sagu (yang dimulai dari kawasan pedalaman terjauh pada zona arus pasang) dan kawasan penangkapan ikan yang amat berlimpah di dekat pantai. Walaupun ada desakan-desakan yang cukup kuat dari dunia luar, masyarakat suku Kamoro tetap mempertahankan gaya hidup mereka yang semi-nomadis. Banyak sekali alasan untuk meninggalkan tempat tinggal mereka di desa untuk beberapa hari atau beberapa minggu: akses terhadap basis kekayaan alam yang lebih luas, peluang-peluang untuk bergaul dengan teman dan saudara, tidak perlu tunduk pada perintah-perintah dan kegiatan rutin di desa dan bagi anak-anak, hal ini merupakan liburan yang menyenangkan dan tidak perlu sekolah.

Makanan pokok penduduk Kamoro adalah sagu yang dibuat dengan cara menebang pohon palem sagu, membelah intisari batang pohon dan menghanyutkan bagian sagu/karbohidrat yang murni dari serat-serat selulosa. Sementara hal ini merupakan kerja berat sesaat, namun tidak mengeluarkan tenaga seberat pembudidayaan selanjutnya, yaitu menjadikannya makanan siap-santap, baik dalam bentuk beras, gandum, jagung atau jenis biji-bijian lainnya.

Suku Kamoro juga suka berburu untuk mendapatkan makanan. Jenis hewan yang terutama diburu adalah babi liar, kasuari dan kuskus. Hewan lain termasuk ikan, buaya air tawar dan buaya laut, kadal bakau dan beragam jenis burung baik untuk dikonsumsi telur maupun dagingnya.

Tugas utama kaum wanita adalah menjamin agar ada cukup bahan makanan untuk tiap kali bersantap. Di samping makanan pokok sagu, tiap hari mereka mengayuh perahu lesung  untuk mencari kayu bakar, udang dan moluska. Sejumlah besar gastropoda juga dikumpulkan untuk dimakan. Ada cukup banyak jenis krustasea (binatang berkulit keras) yang ditangkap, namun yang terutama adalah kepiting bakau untuk dikonsumsi di rumah serta untuk dijual.

Penduduk Kamoro bukan petani. Walau mereka telah diarahkan selama berpuluh-puluh tahun, makanan dari tumbuh-tumbuhan masih merupakan jumlah kecil bahan pangan mereka.

Sebagaimana halnya di Afrika, Oseania, di antara suku Dayak dan dimanapun, warga Kamoro mampu menghasilkan patung-patung yang sangat mengagumkan, benda-benda seni penuh ekspresi namun dengan garis-garis dan perkakas yang amat sangat sederhana. Jenis kesenian yang demikianlah yang memberi ilham kepada banyak pelukis modern, terutama para penganut aliran kubus dan terutama Pablo Picasso yang lukisan ternamanya Les Demoiselles D'Avignon menampilkan wujud-wujud wanita dengan dua wajahnya seperti topeng-topeng Afrika.

(Redaksi) bersaudara, dan yang juga turut berpartisipasi dalam acara tahunan Festival Kamoro. Tanah Sempan berbatasan dengan daerah Asmat. Ketiga kelompok etnis tersebut membentuk keluarga bahasa Kamoro-Asmat dan berbagi beberapa ciri kebudayaan seperti misalnya bitoro suku Kamoro dan bisj suku Asmat, keduanya merupakan ukiran-ukiran besar yang melambangkan para leluhur yang baru saja meninggal dunia.

Menuju arah barat tanah Kamoro, membentang rangkaian pegunungan Papua tengah mendekati daerah pesisir, dengan puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi dekat Laut Arafura. Kampung-kampung di lokasi ini adalah kampung pesisir. Deretan pohon sagu yang amat luas berawal di batas teratas daerah dampak arus pasang. Keadaan ini memungkinkan tersedianya makanan pokok bagi penduduk Kamoro di dekat kampung-kampung yang menghadap ke arah pedalaman. Bagi kampung pesisir, para penduduk menggunakan perahu-perahu lesung untuk menjangkau kawasan pohon sagu. (sumber: lpmak.org)

Tentang Suku Amungme


TOMOHON, Losnito - Suku Amungme adalah bagian dari suku bangsa di Papua yang mendiami beberapa lembah luas di kabupaten Mimika dan Kabupaten Puncak Jaya antara gunung-gunung tinggi yaitu lembah Tsinga, lembah Hoeya, dan lembah Noema serta lembah-lembah kecil seperti lembah Bella, Alama, Aroanop, dan Wa. Sebagian lagi menetap di lembah Beoga (disebut suku Damal, sesuai panggilan suku Dani) serta dataran rendah di Agimuga dan kota Timika.

Secara harafiah Amungme terdiri dari dua kata yang memiliki makna berbeda yaitu "amung" yang artinya utama dan "mee" yang artinya manusia, menurut legenda yang diwariskan turun temurun, konon orang Amungme berasal dari derah Pagema (lembah baleim) Wamena. Hal ini dapat ditelusuri dari kata kurima yang artinya tempat orang berkumpul dan hitigima yang artinya tempat pertama kali para nenek moyang orang-orang Amungme mendirikan honey dari alang-alang.

Orang Amungme percaya bahwa mereka adalah keturunan pertama dari anak sulung bangsa manusia, mereka hidup disebelah utara dan selatan pegunungan tengah yang selalu diselimuti salju abadi yang dalam bahasa Amungme disebut nemangkawi (anak panah putih). Orang Amungme berasal dari suku Damal, keluarga besar eogam-e, anak sukunya adalah suku Delem yang hidup di sepanjang sungai Memberamo.

Tingkah laku dan watak orang Amungme identik dengan alamnya, mereka menggangap dirinya penakluk, pengusa serta pewaris alam amungsa dari tangan Nagawan Into (Tuhan). Kerasnya alam pegunungan telah membentuk karakter masyarakat Amungme menjadi keras, non kompromi, fair dan gentlemen serta selalu melakukan tindakan preventif dalam segala aktifitas.

Bahasa daerahnya ada dua yaitu Amung-kal yang digunakan oleh orang Amungme yang hidup disebelah selatan dan Damal-kal untuk orang Amungme yang hidup di sebelah utara, selain itu suku Amungme juga memiliki bahasa simbol yang berbeda dengan bahasa komunikasi sehari-hari yaitu Aro-a-kal adalah jenis bahasa simbol yang paling sulit dimengerti dan dikomunikasikan, serta Tebo-a-kal sebagai jenis bahasa simbol yang hanya diucapkan sewaktu berada di wilayah tertentu yang dianggap keramat.

Konsep mengenai tanah, manusia dan lingkungan alam mempunyai arti yang intergral dalam kehidupan sehari-hari. Tanah digambarkan sebagai figure seorang ibu yang memberi makan, memelihara, mendidik dan membesarkan dari bayi hingga lanjut usia dan akhirnya mati. Tanah dengan lingkungan hidup habitatnya dipandang sebagai tempat tinggal, berkebun, berburu dan pemakaman juga tempat kediaman roh halus dan arwah para leluhur sehingga ada beberapa lokasi tanah seperti gua, gunung, air terjun dan kuburan dianggap sebagai tempat keramat. Magaboarat Negel Jombei-Peibei (tanah leluhur yang sangat mereka hormati, sumber penghidupan mereka), demikian suku Amungme menyebut tanah leluhur tempat tinggal mereka.

Beberapa model kepemimpinan suku Amungme yaitu menagawan, kalwang, dewan adat, wem-wang, dan wem-mum, untuk menjadi pemimpin tidak ditentukan oleh garis keturunan, seorang pemimpin dapat muncul secara alamiah oleh proses waktu dan situasi sosial serta lingkungan ekologis yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan tradisonal pada tingkat budaya mereka sendiri.


Kontak pertama dengan dunia luar terjadi pada tahun 1936 ketika ekpedisi Carstensz yang pimpinan Dr.Colijn cs, melalui misi katolik pada 1954 yang dipimpin oleh Pastor Michael Cammerer dibantu penduduk lokal bernama Moses Kilangin dan pemerintah Belanda, sebagian besar masyarakat Amungme dipindahkan ke daerah pesisir, di Akimuga sampai saat ini, alasan pemindahan disebabkan proses penyebaran agama dan pelayanan terhadap masyarakat Amungme tidak mungkin dilakukan di daerah pegunungan.

Sebagai warga suku Amungme telah menetap di kota Timika dan sekitaranya karena proses permukiman kembali oleh PT. Freeport Indonesia (PTFI), selain larangan membuka perkampungan di dekat lokasi penambangan menyebabkan mereka bermigrasi ke Timika sebagai alternatif mencari pekerjaan. Penduduk Amungme khususnya yang berasal dari pegunungan Jayawijaya, telah mendapatkan fasilitas perumahan serta lahan perkebunan dari PTFI. Namun banyak pula yang akhirnya memilih tetap tinggal di kampung-kampung di sekitar pertambangan, yakni Kampung Banti, Waa, Tsinga, Arwanop

Umumnya suku Amungme telah menggunakan uang tukar resmi (rupiah) sebagai alat jual-beli, tidak lagi menggunakan sistem barter. Barang-barang yang dijual masih sangat terbatas, seperti: makanan pokok; petatas, keladi, umbi-umbian, minyak goreng, sayur-mayur, alat jahit-menjahit sederhana, dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari lainnya seperti garam, sabun dan rokok.

Saat ini budaya barter maupun alat tukar eral sudah tidak pernah lagi digunakan oleh sebagian besar suku Amungme yang tinggal di perkotaan atau berdampingan dengan budaya kota. Berbeda dengan masyarakat suku Amungme yang tinggal di pedalaman bagian Utara, yaitu di daerah pegunungan masih menggunakan eral.

Eral sendiri adalah sistem tukar - menukar barang dengan alat tukar sah yang diakui masyarakat Amungme, berupa kulit bia (siput). Kulit bia ini diperoleh dengan tukar-menukar barang dengan masyarakat yang tinggal di pantai. Setelah kulit bia diperoleh, mereka membawa pulang ke tempat tinggalnya di pedalaman dan membentuknya menjadi alat tukar suku.

Mata pencaharian suku Amungme umumnya berburu karena ditunjang faktor alam dengan berbagai jenis flora yang tumbuh lebat dan terdapat berbagai jenis fauna seperti babi hutan, burung kasuari, burung mambruk, kakaktua, dll, bertani dan bercocok tanam serta beternak, banyak di antara mereka telah bekerja di kota sebagai pedagang, pegawai maupun karyawan swasta.(sumber: lpmak.org)